Membumikan Spirit Ekofeminisme demi Keadilan Ekologis di NTT
(Ilustrasi oleh Larasati @capunkgudick) |
Setiap
tanggal 5 Juni diperingati sebagai Hari Lingkungan Hidup (HLH) Sedunia atau World Environment Day. HLH Sedunia sepatutnya
menjadi alarm pengingat bagi umat manusia atas tanggung jawabnya menjaga
lingkungan hidup yang merupakan harta nan berharga.
Namun,
realita menunjukkan fenomena yang kontradiktif. Bukannya dijaga secara
bertanggung jawab, alam justru sering dieksploitasi. Pada
skala global seturut laporan Living
Planet Report 2020 yang dipublikasikan WWF
dan Zoological Society of London,
populasi mamalia, burung, amfibi, reptil, dan ikan di seluruh dunia terus
menurun sebanyak 68 persen selama 1970-2006. Kehilangan populasi ataupun
spesies ini berasal dari deforestasi, pola pertanian yang tidak ramah
lingkungan, dan perdagangan tumbuhan dan satwa liar ilegal (Kompas, 15 September 2020).
Pada
tingkat nasional, Forest Watch Indonesia memaparkan dalam
periode 2013-2017, hutan di Indonesia mengalami deforestasi sekitar 5,7 juta
hektare atau sekitar 1,46 juta hektare per tahun (Yulianta, 2020: 7). Data faktual
ini memaparkan krisis ekologi menjadi suatu permasalahan yang aktual.
A. Sonny Keraf (2010: 2-3) mengungkapkan, krisis ekologi global dewasa ini bersumber dari kesalahan fundamental-filosofis dalam cara pandang manusia mengenai dirinya, alam, dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem. Kesalahan cara pandang ini bersumber dari etika antroposentrisme, yang memandang manusia sebagai pusat alam semesta dan hanya manusia yang mempunyai nilai, sedangkan semesta alam dan segala isinya sekadar alat bagi pemuasan kepentingan dan kebutuhan manusia.
Bertolak dari argumen di atas, krisis ekologi dilatarbelakangi oleh cara pandang antroposentrisme. Paham ini telah membuat manusia memandang dirinya lebih tinggi, sedangkan alam dianggap sebagai objek semata sehingga bebas dieksploitasi demi mencapai profit yang besar.
Kondisi ini bila terus
dibiarkan akan menimbulkan kerusakan lingkungan yang berkepanjangan. Oleh
karena itu, dibutuhkan terobosan nyata dalam mendekonstruksi paham antroposentrisme
yang selama ini telah melanggengkan segala aksi eksploitasi alam lingkungan.
Ekofeminisme:
Spirit Pembelaan Rangkap
Suatu
terobosan alternatif yang dapat diupayakan ialah dengan mewujudkan spirit
ekofeminisme. Ekofeminisme merupakan suatu falsafah sekaligus gerakan dalam
memperjuangkan keutuhan ekologi dan kesetaraan gender.
Hal ini sesuai dengan tujuan ekofeminisme yaitu untuk menumbuhkan kesadaran
akan kelestarian bumi serta menjaga kesetaraan gender sebagai esensi hak asasi
manusia (Ola, Setyonugroho, dan
Lakmawan: 2018, 88).
Istilah
ekofeminisme
diperkenalkan oleh feminis Perancis, Francoise d’Eaubonne pada 1974, melalui
bukunya yang berjudul Le Feminisme ou la
Mort (“Feminisme atau Kematian”). Dalam buku ini diungkapkan adanya hubungan
langsung antara opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam, karena itu
pembebasan salah satu dari keduanya tidak dapat terjadi secara terpisah dari
yang lain (Tong: 2008, 366).
Para
ekofeminis mengungkapkan adanya hubungan yang erat antara alam lingkungan dan
perempuan. Pada hakikatnya lingkungan dan kaum perempuan memiliki suatu
keterjalinan relasional. Bila terjadi kerusakan pada alam
lingkungan akan berdampak pula pada kaum perempuan.
Keterjalinan relasional
tersebut diafirmasi Susilo dan Kodir (2016: 326), bahwasanya perempuan adalah “tangan
pertama” (first hand) yang
bersentuhan dengan sumber daya alam, karena itulah perempuan menjadi kelompok
yang lebih rentan terhadap risiko dan dampak kerusakan lingkungan hidup.
Sebagai
“tangan pertama” yang bersentuhan langsung dengan alam, terjadinya kerusakan
lingkungan membawa dampak nyata dalam keseharian kaum perempuan. Contohnya di mayoritas
negara berkembang, perempuan memiliki peran besar di ranah domestik. Terjadinya
penggundulan hutan akan menimbulkan kelangkaan air dan kayu bakar, akibatnya perempuan
terhambat dalam memasak panganan ataupun menjalankan tugas domestik lainnya.
Di dalam keterjalinan relasional terungkap pula akar ketidakadilan yang menimpa alam dan perempuan. Jika kerusakan lingkungan bersumber dari cara pandang antroposentrisme, ketidakadilan pada kaum perempuan berakar dari paham androsentrisme. Androsentrisme adalah suatu aliran yang menjadikan laki-laki sebagai pusat dari kehidupan.
Realitanya, paham andosentrisme membuat status laki-laki lebih
tinggi dari perempuan. Jadi, terdapat kesamaan pola ketidakadilan yang dialami
alam dan perempuan, keduanya sama-sama ditindas dan ditempatkan pada posisi
subordinat.
Dilatari
oleh faktor keterjalinan relasional ini, ekofeminisme hadir sebagai suatu upaya
pembelaan rangkap. Di satu sisi membela alam dari aksi eksploitasi, di lain
sisi membela perempuan dari tindakan diskriminasi. Seperti ditegaskan Greta
Gaard bahwa “tidak akan ada usaha yang berhasil untuk membebaskan perempuan
tanpa juga membebaskan alam” (Ponda: 2021, 61).
Ekofeminisme
sebagai suatu spirit perjuangan rangkap telah membuka ruang bagi perempuan
untuk mengaktualisasikan dirinya. Perempuan berhak penuh menerapkan
kemampuannya. Peran perempuan tidak sebatas ranah domestik, tetapi juga mampu
berkarya di ranah publik. Dalam perspektif ekofeminisme, perempuan memiliki
potensi sebagai pemimpin dalam memperjuangkan keutuhan alam serentak
memperjuangkan kesetaraan gender.
Model
perjuangan ekofeminisme dapat dicontohkan dari gerakan Chipko di India. Pada tahun 1974,
dua puluh tujuh perempuan di kota Reni, bagian utara India, bersepakat untuk
menghentikan penebangan hutan. Mereka memeluk erat-erat pohon-pohon yang akan
ditebang oleh mesin pemotong kayu yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
besar. Gerakan para perempuan ini disebut sebagai gerakan Chipko yang dalam bahasa Hindi berarti memeluk. Gerakan ini
berhasil menyelamatkan sebanyak 12.000 km areal hutan (Wulan, 2007: 125).
Di
Indonesia spirit ekofeminisme menyata dalam sosok Werima Mananta di Sulawesi
Selatan. Werima merupakan salah seorang tokoh perempuan yang memperjuangkan
tanah Dongi Karonsi’e di Sorowako, yang telah diokupasi perusahaan tambang
nikel berskala internasional.
Pada
tahun 2000 bersama dengan komunitas masyarakat adat Dongi Karonsi’e, Werima
melakukan reclaiming dan membangun
ulang kampung Dongi dengan mulai berkebun. Werima tidak pernah gentar, meskipun
dalam setiap perjuangannya, harus berhadapan dengan aparat kepolisian yang juga
sering kali bersikap represif menghadapi aksi-aksi massa yang melawan PT. Inco
Valley (Khalid, 2014: 134).
Perjuangan
Aleta Baun di Mollo
Di
NTT terdapat juga perjuangan yang bernafaskan spirit ekofeminisme. Perjuangan
ini digalakkan Aleta Baun dalam menyelamatkan alam Mollo dari gempuran
korporasi tambang marmer.
Daerah
pegunungan di Mollo, TTS memiliki 63 buah gunung dan diperkirakan mengandung
3,5 triliun meter kubik marmer. PT Sumber Alam Marmer salah satu perusahan
tambang yang beroperasi di Mollo telah melakukan eksplorasi sejak 1999. Tahun
2006 perusahaan tersebut telah menggali gunung hingga 40 meter. Diperkirakan 12
ribu meter kubik batu telah diambil dan 25 ha lahan pertanian telah dicaplok.
Dampak ekologisnya, warga sekitar lokasi pertambangan mengalami kekeringan air.
Genangan air bekas pencucian batu marmer pun membawa kerusakan bagi tanaman
pertanian (Dalupe, 2020: 38-39).
Perjuangan
Aleta dimulai pada 1990-an ketika Gunung Batu Anjaf dan Nausus mulai dirambah
industri tambang dan industri kehutanan (2020: 39). Ia berinisiatif menghimpun
penduduk setempat untuk melakukan gerakan perjuangan secara kolektif.
Gerakan
yang dibangun Aleta, dengan ia sebagai perempuan yang memimpin dan
mengorganisasi, sesungguhnya di luar pakem orang Timor dengan budaya patriarki
yang kuat. Dalam budaya patriarki laki-laki diposisikan sebagai pihak yang cenderung
mendominasi, menyubordinasi dan melakukan diskriminasi terhadap perempuan
(2020: 41). Akan tetapi, lewat gerakan yang diinisiasi Aleta Baun menjadi bukti
bahwa perempuan memiliki potensi dalam kepemimpinan.
Menariknya,
sebagaimana dituliskan Dalupe, ketika perempuan Mollo yang dipimpin Aleta
bangkit menolak pertambangan, kaum perempuan ini menyadari bahwa mereka
memiliki potensi untuk menggerakan orang-orang di Mollo. Kaum pria atau para
suami kemudian mendukung langkah para perempuan Mollo ini untuk terus
melangsungkan protes. Gerakan ini dibangun dengan strategi dengan tidak
menempatkan pria di garis depan protes. Aleta punya alasan soal ini, bahwa aksi
protes harus tetap dilakukan secara damai. Dengan menempatkan laki-laki digaris
depan maka bentrok fisik dengan pihak korporasi sangat mungkin terjadi (2020:
41).
Perjuangan
Aleta ini membutuhkan waktu lama hingga belasan tahun. Dalam perjuangan
tersebut ia kerap mengalami kekerasan, seperti dipersekusipreman suruhan pihak
korporasi, dipukul sewaktu sidang di pengadilan, dibacok pada kaki, terpaksa
mengungsi dari rumah sendiri hingga terancam nyawanya. Sementara itu
rekan-rekan seperjuangannya juga diintimidasi dan dipukuli (2020: 40).
Perjuangan
panjang tersebut pun pada akhirnya berhasil mengusir korporasi pertambangan
dari tanah Mollo. Dalam perjalanan waktu pasca tambang, Aleta bersama
masyarakat adat Mollo telah merubah lokasi-lokasi tambang menjadi wisata
ekologis yang menjanjikan (2020: 45).
Aleta
adalah tanda nyata keterlibatan kaum perempuan dalam menegakkan keadilan sosial
ekologis. Ia menjadi model dalam mewujudkan spirit ekofeminisme sebagai
pembelaan rangkap terhadap kaum perempuan dan alam lingkungan. Melalui
perjuangannya ia mempresentasikan keberpihakkan dan kepekaan perempuan pada
isu-isu kemanusiaan dan ekologi di masa kini.
Tiga Pilar Spirit Ekofeminisme
Ekofeminisme memiliki nilai-nilai yang relevan dengan perjuangan keadilan sosial ekologis masa kini. Meski demikian, ekofeminisme sendiri masih tergolong baru di Indonesia. Oleh karena itu, penulis menawarkan tiga aspek dasar dalam membumikan spirit ekofeminisme khususnya di NTT.
Pertama,
spirit ekofeminisme berbasis kearifan lokal. Menurut Tri Marhaeni Pudji Astuti
(2012: 58), diskursus mengenai
lingkungan atau penyelamatan lingkungan selalu terkait dengan kearifan lokal.
Hal ini dapat dipahami, karena usaha-usaha penyelamatan lingkungan selalu
berkaitan dengan masyarakat adat, penduduk asli, masyarakat lokal. Merekalah
yang memiliki cara-cara sesuai dengan adat kebiasaan dan budayanya dalam usaha
penyelamatan lingkungan.
Kearifan
lokal merupakan identitas asli masyarakat setempat. Dengan berlandaskan pada
kearifan lokal, spirit ekofeminisme mampu menyuarakan jati diri masyarakat
tersebut. Integrasi antara ekofeminisme dan kearifan lokal akan menciptakan gerakan
kolektif yang kontekstual.
Upaya ini telah dicontohkan Aleta Baun dalam perjuangannya. Aleta dengan konsisten dan teguh mengilhami seluruh gerakannya dengan filosofi Timor (baca: Mollo), yang sangat dalam dan menyentuh hati perempuan-perempuan untuk bergerak (Dalupe, 2020: 43).
Filosofi tersebut salah satunya sebagai berikut: “Oel nam nes on na, nasi nam nes on nak nafu, naijan nam nes on sisi, fatu nam nes on nuif.”
Yang berarti air adalah darah, hutan adalah rambut, tanah adalah daging, batu
adalah tulang.
Filosofi
adat ini membuat orang-orang Mollo memandang alam serupa tubuh mereka sendiri.
Mereka diingatkan untuk merawat alam sebagaimana mencintai tubuh sendiri. Jika
alam dieksploitasi, tentunya berakibat buruk pada kehidupan mereka juga.
Filosofi ini pun menjadi semboyan mereka dalam berjuang, teristimewa menghalau
segala bentuk eksploitasi di tanah Mollo.
Kedua,
kolaborasi kelompok akar rumput. Sejatinya kelompok akar rumput adalah gerakan
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sebagai suatu gerakan kolektif
ekofeminisme tidak terlepas dari perjuangan kelompok akar rumput. Gerakan Chipko di India maupun gerakan Aleta
Baun dan para warga di Mollo adalah representasi perjuangan akar rumput.
Kelompok akar rumput menjadi kekhasan ekofeminisme dalam visi perjuangan sosial
ekologis.
Kelompok
akar rumput yang terorganisir baik akan mampu berjejaring dengan kelompok akar
rumput di wilayah lain. Hal ini menguntungkan karena lewat kerja sama setiap
kelompok saling memperkaya dengan pengetahuan dan pengalaman yang beragam.
Perjuangan pun semakin efektif dalam menciptakan kebaikan bersama.
Saat
ini kaum muda di NTT giat mentransformasikan spirit akar rumput ke dalam beragam
komunitas kreatif. Kehadiran banyak komunitas menggambarkan partisipasi aktif
kaum muda dalam isu sosial ekologis. Mereka kreatif memanfaatkan media sosial untuk
mengampanyekan nilai-nilai ekofeminisme.
Belakangan
juga terdapat kolaborasi yang dilakukan lintas komunitas kreatif. Sebagai contoh koloborasi empat komunitas
yang memprakarsai kegiatan “Kampung Katong”. RMI di Bogor, organisasi yang
bergerak pada isu pengelolaan SDA dan lingkungan, berkolaborasi dengan tiga
komunitas lokal yaitu Kolektif Videoge di Labuan Bajo, Lakoat Kujawas di Mollo,
dan Simpasio Institute di Larantuka. Kolaborasi ini diproyeksikan sebagai studi
kasus tentang revitalisasi tradisi, perlindungan ekologi, serta pengelolaan
sumber daya yang menopang penghidupan berkelanjutan (rmibogor.id, 3 Desember 2021).
Ketiga,
sastra hijau sebagai sarana edukasi. Sastra hijau merupakan karya yang
mengusung tema ekologis. Sastra hijau lahir sebagai wujud tanggung jawab para
sastrawan untuk ikut serta dalam gerakan merawat bumi, melestarikan alam, dan
menjaganya dari ancaman kerusakan (Wiyatmi,
Maman Suryaman, dan Swastikasari, 2019: 139).
Sastra hijau sebagai tanda keberpihakan sastrawan menarasikan pula tema
ekofeminisme.
NTT
telah memiliki sastrawan lokal yang mengusung spirit ekofeminisme dalam
karyanya. Ia adalah Dicky Senda melalui buku kumpulan cerpen Kanuku Leon yang diterbitkan Grasindo,
2018. Cerpen Kanuku Leon terinspirasi
dari kisah nyata perjuangan Aleta Baun. Upaya Dicky Senda ini mesti menjadi
inspirasi bagi sastrawan lokal lainnya untuk turut menghasilkan banyak karya
sastra hijau bermutu. Melalui upaya ini,
sastra hijau menjadi sarana dalam mengedukasi spirit ekofeminisme, terkhusus
bagi kalangan muda agar tercipta menciptakan generasi yang berwawasan ekologis
dan feminis.
Kiranya
ketiga aspek dasar ini, yakni kearifan lokal, kelompok akar rumput dan sastra
hijau menjadi acuan dalam membumikan spirit ekofeminisme. Semoga lewat Momentum
HLH Sedunia tahun ini, ketiga aspek ini dijadikan tigar pilar emas yang solid menopang
spirit ekofeminisme dalam derap perjuangan menegakan keadilan sosial ekologis
di persada NTT.
*) Tulisan ini meraih juara harapan I dalam lomba menulis opini yang diadakan oleh WALHI NTT dalam rangka peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2022.
Baca juga:
Christyn Feltcraft, Mekar Bisnis Bunga Flanel di Kota Karang
Post a Comment for "Membumikan Spirit Ekofeminisme demi Keadilan Ekologis di NTT"