Mahligai Maghilewa
(Deri Say, kawan jalan ke Maghilewa) |
DI PUNGGUNG GUNUNG INERIE TERSUSUN ANGGUN MAHLIGAI BERNAMA MAGHILEWA. BARISAN RUMAH ADAT TRADISIONAL YANG BERPADU DENGAN NUANSA ALAM NAN HIJAU.
Pada pagi yang mendung di bulan April 2021, saya bersama Deri Say berangkat dari Aimere menuju Maghilewa, sebuah kampung adat yang terletak di pinggang Gunung Inerie.
Setiba di Maghilewa, suasana amat sunyi. Saat memarkir motor di bagian depan tidak terlihat satu pun warga. Mungkin mereka masih di kebun, kata Deri pelajar SMA di Aimere. Kami pun sepakat untuk masuk saja dulu.
Oia, Deri adalah adik dari teman kuliah saya Charly Ka’u. Walau jarak dari rumah mereka di Aimere ke Maghilewa sekitar 45 menit, Deri juga baru pertama kali ke sini.
(Kemiri yang dijemur depan rumah adat) |
Suara kikisan parang yang diayun secara perlahan menarik perhatian kami. Suara itu berasal dari salah satu rumah warga.
Di serambi depan, terlihat seorang bapak sedang mengikis kayu untuk dijadikan sarung bagi parangnya. Saat tahu kedatangan kami ia pun menyambut ramah.
Dari beliau kami pun tahu suasana amat sepi karena banyak warga pergi melayat di kampung tetangga. Pada beliau juga kami meminta izin untuk bisa berjalan-jalan di sekeliling kampung.
Halaman perkampungan bentuknya berundak-undak. Karena letak Maghilewa di wilayah yang miring. Ada tangga dari lempeng bebatuan sebagai penghubung antar halaman tersebut.
Pada halaman di depan beberapa rumah dijemur kemiri hasil kebun warga. Tanah hitam, rumputan hijau, dan lempengan batu menjadi lantai dasar di mahligai Maghilewa.
Tak lama kemudian terdengar lagi suara yang memanggil kami. “Mari singgah minum kopi” kata seorang kakak yang brewokan.
Kami pun menyinggahi rumah adat tersebut. Pada jenang pintu terpahat nama rumah ini, Sao Tobhi.
(Dari mata Sao Tobhi) |
Seduhan tiga gelas kopi membuka percakapan di antara kami. Kebetulan kakak brewok ini pernah bekerja di Maumere, tempat kuliah saya, sehingga perbincangan kami cepat nyambung.
Ia banyak bercerita tentang suasana kampung. Katanya bagus juga kalau datang ke pada saat pesta reba atau perayaan adat. Saat itu banyak sanak saudara yang jauh akan pulang ke Maghilewa.
Sayangnya, saking asyik bercerita saya lupa nama dari si kakak brewok. Ia amat baik walaupun kami orang baru. Ia gambaran sejati dari kebaikan, yang berwujud tanpa perlu ada nama.
Pohon Lontar Nan Tinggi
Sudah tengah hari, tapi Mendung masih melingkupi. Kalau saja tak terhalang mendung, kami bisa menyaksikkan keelokan Gunung Inerie. Sang Piramida Alami Flores ini memiliki ketinggian 2245 mdpl.
Kami juga berjumpa seorang bapak bertopi yang baru pulang dari kebunnya. Ia memakai tas berbentuk tabung panjang yang dianyam dari daun lontar.
Sembari mengunyah sirih pinang, ia menceritakan arti nama Maghilewa. “Maghi itu pohon lontar dan Lewa berarti panjang atau tinggi” ujarnya dengan bibir merah sirih pinang.
Kedua nama ini merujuk pada sebuah pohon lontar nan tinggi yang pernah tumbuh di kampung. Kini, pohon lontar tersebut sudah tidak ada. Tetapi dulu menjadi penanda bagi orang yang ingin ke kampung karena saking tingginya.
Maghilewa memiliki 26 buah rumah adat atau Sa’o. Jika dilihat dari atas rumah-rumahnya tersusun membentuk persegi panjang. Di halaman tengah perkampungan terdapat totem (Ngadu) yang menjadi penanda suku.
Maghilewa termasuk daerah yang sejuk, karena di ketinggian. Adapun hasil kebunnya seperti kemiri, kakao, kelapa, pala, vanili, dang cengkeh.
Dari arah kebun datang juga seorang bapak dengan membawa satu jerigen tuak putih. Ia baru pulang mengiris pohon lontar. Nantinya tuak itu dimasak untuk menjadi moke.
Ada pula seorang perempuan paru baya, yang namanya masih saya ingat sampai hari ini, Mama Romana. Ia pergi ke kebun kecil di belakang rumah, memetik sayur bayam merah untuk dimasak.
Hanya beberapa warga yang ada di kampung. Karena kedatangan kami berdua, mereka ingin ada makan siang bersama.
Kami semua berkumpul di salah satu rumah warga. Sungguh Maghilewa, rumah yang penuh senyuman ramah.
Santapan siang ini, ada nasi yang dicampur kacang-kacang merah besar dan tentu saja tumis bayam merah yang dimasak Mama Romana.
Di dalam rumah di serambi utama, hangatnya kebersamaan sungguh terasa. Apalagi sementara makan diselingi dengan sebotol moke adat.
Di luar, mendung yang sedari tadi menggantung akhirnya terlepas. Langit Maghilewa pun menumpahkan hujan nan deras.
(Mama Romana dengan sayur bayam merah) |
Salam kenal. Cerita yang menarik. Saya paling suka baca cerita tantang kampung adat begini..
ReplyDeleteSalam kenal juga Kak Dian. Terima kasih sudah singgah baca. Semoga nanti bisa berkunjung ke kampung adat Maghilewa.
DeleteMantap tem
ReplyDeleteTerima kasih Bung Odel
DeleteMantap Bang. Semoga bisa juga mengunjungi kampung saya dan menikmati seduhan kopi kami
ReplyDeleteTerima kasih tem. Semoga saya bisa kembali ke Manggarai lagi.
DeleteJalan tidak ajak-ajak bgmna ko eja. Main solo trip sa ni.
ReplyDeleteWala ka'e, ini su lama. Dua tahun lalu.
Delete